Memetik Pelajaran Dari Bapak Penjual Es Wawan
Assalamualaikum..
Writing is healing..
Kadang di suatu keadaan aku merasa diri ini congkak dan sombong, tapi di lain waktu lagi merasa rendah dan bukan siapa-siapa. Ya memang sebisa mungkin tiap hari aku belajar merendah jadi agar hilang rasa tinggi hatiku.
Sampai pada suatu hari aku dibuat tercengang oleh seorang penjual es wawan yang tiap hari lewat di depan rumah.
Waktu kakak masih kecil dulu, bapak tersebut berprofesi sebagai tukang odong-odong, dari mulai odong-odong baru sampai odong-odong nya terbilang jelek dan masih dikayuh menggunakan kaki, padahal yang lain sudah pada pakai mesin motor, bapak tersebut masih setia dengan profesinya.
Dulu memang sering sekali si kakak naik odong-odong bapak tersebut tapi setelah kakak besar dan mungkin bosan akhirnya ya.. lama nggak naik lagi.
Sampai suatu hari pas aku duduk di depan rumah, dari jauh aku dengar ada suara motor lewat tapi suaranya tak biasa, seperti motor yang mau habis bensin, atau seperti yang gas rem gas rem.. sempat aku mengumpat dalam hati, si bapak ini mesin motornya yang rusak atau memang cara dia bersepedah seperti itu.
Hari berikutnya dan seterusnya bapak jni tetap melakukan kegiatan yang sama, lama-lama aku jadi biasa dan gak mau ikutan mikir lah. Biar aja si bapak penjual es wawan tetap seperti itu, mungkin itu juga sebagai ciri khasnya atau biar hemat aki motor karena tidak perlu membunyikan klakson.
Sampai suatu hari aku duduk dengan teman dan bapak tersebut lewat, temanku bilang "wah bapak ini sudah dagang lagi toh..!" "Lho emang bapak ini kemana?" Tanyaku penasaran. "Kamu nggak tau, bapak ini kemarin umroh, sekarang sudah dagang berarti sudah pulang! Bapak ini juga punya pondok kata orang-orang" Jelas temanku.
Astaghfirullah..
Seketika aku nggak bisa berkata-kata, disinilah kesadaran diketuk. Seorang bapak yang tiap hari dagang es wawan sebarga 1,500 rupiah, dengan tampilan layaknya penjual keliling pada umumnya, punya pondok pesantren dan baru pulang dari umroh.
"Apa cukup?" Kata itu yang melintas dikepala, bukan niat merendahkan tapi tentunya bapak itu punya anak istri yang harus di hidupi, tapi masih bisa menabung untuk umrah dan mengurus pondok pesantren yang tentunya membutuhkan biaya jugan, tentunya aku sangat kagum dengan bapak penjual es ini.
Suami yang tiap hari bekerja untuk menghidupi aku dan ke dua anakku saja kadang masih merasa kurang, karena kebutuhan kami bukan hanya masalah makan, juga untuk sekolah, ngaji, bersosialisasi dengan masyarakat seperti menjenguk orang sakit, menjenguk bayi lahir, datang ke hajatan dan lain sebagainya.
Kalau di kota mungkin kita hanya menghadiri yang kenal atau kerabat saja, tapi di desa ku tidak seperti itu karena satu kampung kami saling mengenal dengan baik jadi ketika ada yang sakit atau apapun pasti akan menjenguk dan tentunya tidak dengan tangan kosong.
Jadi sedikit maklum kalau pengeluaran jadi lebih banyak.
Tapi dari bapak pedagang es wawan tadi aku benar-benar termotivasi atas kerja kerasnya. Dan jadi pelajaran, bahwa kadang seseorang yang terlihat biasa saja malah membuat kita tak bisa berkata-kata atas hasil karyanya.
Sampai disini dulu..
Wassalamu'alaikum..
4 komentar untuk "Memetik Pelajaran Dari Bapak Penjual Es Wawan"
Sekarang kayaknya udah nggak ada lagi ya?
Keren emang kisah hidup orang-orangs ederhana yang konsisten membangun keberhasilannya :)