Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual

 


Hai teman, kemarin malam saya mengikuti sharing time melalui webinar bersama Mubadalah.id, ICC, ODOP dengan pembicara mbak Muyassaroh hafidzoh penulis novel Hilda. Sharing time kali ini sangat berbobot karena mengusung tema “Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual.

 

Mengapa keluarga diangkat sebagai tema? Karena bisa dibilang keluarga adalah tempat pulang dari segala lelah, keluarga juga lingkungan paling dekat dengan diri kita. Selain keluarga, tema utamanya tentu tentang kekerasan seksual yang bisa dialami oleh siapapun, baik laki-laki ataupun perempuan, biarpun lebih banyak dialami oleh perempuan tentunya. dan pelakunya pun bisa orang yang tidak kita kenal atau bahkan orang terdekat kita sendiri.

 

Mbak Muyassar sendiri sudah sering bersentuhan langsung dengan korban kasus kekerasan seksual melalui pekerjaannya. Kami sempat kena prank saat mbak Muyassar memberi kami soal cerita,

Pada tahun 2018 Direktur Utama PT Pertamina (Persero) berkunjung di salah satu Kabupaten di Indonesia untuk acara penting bupati tersebut. Direktur Utama tersebut meminta bupatinya untuk memberikan izin istrinya supaya bisa menemaninya menginap di hotel. Bupati itu tidak bisa menolak permintaan direktur utama Pertamina. Akhirnya Dirut dan istri bupati menginap bersama di kamar hotel.

Kami diminta untuk menulis satu kata untuk cerita tersebut! jelas lah kolom komentar langsung dibanjiri jawaban yang aneh-aneh. Tapi ternyata dirut utama tersebut berjenis kelamin perempuan.

 

Pertanyaan kedua. Jika ada perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual, ketidakadilan apa yang sering menimpanya? Perempuan akan serba salah, melapor bakal seperti membuka aib, hal lain juga akan menimpanya seperti bakal dikucilkan, dibully dll.

 

 

Bentuk-bentuk ketidakadilan bagi perempuan

Marginalisasi.

       Proses atau perlakuan peminggiran seseorang khususnya karena perbedaan jenis kelamin masih terjadi. Kurangnya pemahaman seksualitas khususnya pada sistem reproduksi kerap menjadi sasaran utamanya. Misalkan ketika seorang buruh pabrik perempuan hamil atau melahirkan, jika ia izin tidak masuk bekerja bisa diancam potong gaji atau bahkan pemutusan hubungan kerja.

       Atau masih ada anggapan suatu profesi yang dilakoni perempuan adalah lebih cocok yang berjabatan rendah dan tidak terlalu tinggi. Alasan pandangan tersebut adalah laki-laki akan menjadi tersingkirkan dan merasa direndahkan pula. Padahal akar permasalahan yang memang salah adalah penyebab kuatnya budaya patriarki.

 

 

Subordinasi pembentukan stereotype atau melalui pelabelan negatif

       Seseorang berhak meraih kesempatan yang sama dalam politik, ekonomi, sosial, pendidikan, jabatan dan karier. Memprioritaskan penyerahan jabatan kepada seorang laki-laki daripada perempuan yang juga memiliki kapabilitas yang sama adalah salah satu contoh ketidakadilan. Tidak hanya menomorduakan, pandangan superioritas terhadap laki-laki untuk sebuah jabatan tertentu harus diubah.

       Kemampuan kecerdasan bekerja tidak ditentukan oleh jenis kelamin, melainkan ditentukan oleh kapasitas dan kesanggupannya memikul tanggung jawab.

 

Kekerasan (violence)

       Seseorang yang diperlakukan kasar bukan dianggap sebagai subjek, tetapi objek yang wajar dijadikan pelampiasan. Telah banyak kasus yang tercatat bahwa perempuan sering dijadikan objek kekerasan oleh laki-laki yang tidak bertanggung jawab. Tindakan tersebut terjadi karena masih ada anggapan kuasa dan superioritas laki-laki terhadap perempuan.

       Sudah demikian, korban kekerasan jika melawan malah dianggap berdusta, mencemarkan nama baik, dan hanya sekedar mencari sensasi. Apabila tidak menaati perintah laki-laki atau suami malah dikatakan durhaka, dan melanggar perintah agama. Tentu ironi yang masih banyak ditemui di lingkungan sekitar kita

 

Stereotype atau melalui pelabelan negatif

       Banyak stigma atau label yang melekat pada diri kita karena konstruksi sosial di masyarakat. Misalkan saja, perempuan harus bekerja pada ranah domestik, sedangkan laki-laki pada sektor publik. Anak laki-laki yang mudah menangis dianggap sebagai laki-laki yang lemah atau cengeng, bukannya dianggap sebagai ungkapan emosi yang wajar.

 

Beban ganda – yang dipaksakan (double burden)

       Biasanya sering terjadi dalam ranah rumah tangga, perempuan yang berkarier di luar harus mengurus urusan domestik juga tanpa bantuan siapapun. Pembagian kerja tanpa kesepakatan seperti ini masih sering dialamatkan kepada perempuan sebagai korbannya. Bukannya malah saling membantu, ada pula laki-laki atau suami yang tidak membantu urusan rumah tangganya sendiri.

       Sedangkan laki-laki tersebut bisa jadi tidak banyak bekerja dan hanya bersantai saja.

 

Lalu hal apa saja yang bisa kita lakukan untuk korban kekerasan seksual?

       Melindungi korban supaya tidak mengalami ketidakadilan

       Mendukung sepenuhnya korban untuk terus bangkit kembali

       Melakukan proses hukum dengan meminta bantuan LBH terdekat

       Mengobati korban baik luka fisik maupun psikis

       Dampingi selalu sampai korban bisa kembali pulih

 

Saya sangat menikmati sharing season kemarin malam karena sarat dengan literasi dan informasi yang bisa kita petik hikmahnya. Apalagi setelah menulis novel Hilda mbak Muyassar banyak mendapat curhatan-curhatan dari teman-teman tentang kekerasan yang dialami.

 

Salah satunya mengaku ada yang mengalami dan pelakunya ialah orang terdekat, saat melapor kepada ibunya malah ibunya nggak percaya. Setelah tiga kali melapor ke ibunya malah dimarahi oleh sang ibu akhirnya dia melakukan percobaan bunuh diri sampai mengalami patah tulang kaki. Akhirnya dengan diberikannya usia yang lebih panjang dari Allah dia merasa seperti mendapat teguran dan keyakinan bahwa dia masih memiliki Allah tempatnya berkeluh kesah.

 

Jadi teman intinya kita sebagai makhluk ciptaan Allah harus lebih bisa menjaga diri dari segala hal yang membahayakan jiwa dan raga, masih banyak korban kekerasan seksual di luaran sana yang tak berani melapor tentang apa yang mereka alami karena rasa takut terhadap reaksi orang di lingkungannya. Hal ini dikarenakan saat terjadi hal yang tak diinginkan sebagian besar orang bukan mensupport korban tapi malah menyalahkan, jelas ini bakal membuat korban makin tertekan dan tak berani untuk speak up.

 

Sampai sini dulu sharing kita tentang Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual, semoga kita bisa sama-sama memetik pelajaran dari sharing kali ini ya.

 

Fionaz
Fionaz Hanya manusia biasa yang berusaha jadi bermanfaat untuk sesama. Seorang freelance writer dan blogger, untuk kerja sama bisa dihubungi melalui email: fionazisza03@gmail.com

Posting Komentar untuk "Peran Keluarga Sebagai Support Sistem Penyintas Kekerasan Seksual"