Resensi Buku Rahvayana; Aku Lala Padamu

 

Novel Rahvayana

Resensi Buku Rahvayana; Aku Lala Padamu. Melihat Perspektif yang Berbeda dari Lakon Rahwana.

"Mereka baik sekaligus buruknya. Bila Jisim Rahwana itu ada padamu, kau akan menyangka bahwa baik dan buruk sama saja? Tidak. Mereka berbeda. Keduanya hanya tak terpisah. merekalah yang bahu-membahu mendorongmu menjadi sempurna, yaitu menjadi berlapang dada untuk tidak menerima kesempurnaan".


Begitulah sepenggal kutipan dari novel Rahvayana: Aku Lala Padamu. Novel karya dalang Sujiwo Tejo ini berkisah tentang agungnya raca cinta Rahwana untuk wanita pujaan hatinya, Sinta. Tapi jangan menerkan kisahnya bakal sama seperti cerita rakyat yang sudah biasa kita dengar sejak jaman dahulu kala, tentu tidak. Dalam novel ini kita diajak berkelana dari waktu ke waktu hingga lintas negara.


Novel ini punya konsep cerita yang berbeda dari kisah pewayangan yang sudah ada, tiap babnya menceritakan isi surat-surat Rahwana untuk Sinta yang ditulis dengan begitu manis, puitis, bahkan ada kesan nyentrik sedikit berbumbu nakal. Oh iya, dalam novel ini juga banyak memakai istilah-istilah dalam bahasa pewayangan, jadi siap-siap saja meresapi tiap bait suratnya.


Melihat Perspektif yang Berbeda dari Lakon Rahwana

Orang jahat tak akan selamanya jahat, dia tentu masih punya sisi baik dalam dirinya yang kadang tak dipahami orang lain, kita hanya perlu melihat dari sisi lain agar mampu memahaminya. Begitu juga dengan Rahwana sebagai lakon jahat dalam cerita Ramayana, sejahat apapun Rahwana di mata orang lain, dia tetap memiliki cinta yang murni dan tulus kepada Sinta bahkan jauh sebelum kelahiran Sinta itu sendiri.


Rahwana yang awalnya jatuh cinta dengan titisan Dewi Widowati, nantinya Dewi Widowati akan menitis kepada Dewi Sukasalya dan Dewi Citrawati, dan terakhir menitis ke Dewi Sinta. Sinta disini diceritakan sebagai seseorang yang suka bepergian keliling dunia, perjumpaan awal Rahwana dengan Sinta terjadi di Candi Borobudur, sejak saat itu Rahwana tak pernah mampu melupakan Sinta dan ingin membawanya ke istana Rahwana di Alengka.


Rahwana punya 4 saudara yang bernama Lawwamah, Supiyah, Mutmainah, dan Amarah. Ke empat saudaranya ini yang sering memberikan nasehat-nasehat sesuai dengan karakter mereka masing-masing. 

"Itulah kebohonganku yang pertama kepadamu, Sinta. Itulah kebohongan yang membuat aku selalu merasa bersalah. Sebetulnya, Sinta. aku membatalkan diri menyertaimu ke Berlin lantaran pertentangan di antara Lawwamah, Supiyah, Mutmainah, dan Amarah. Di Changi itu setiap aku berpaling dari kamu untuk menerima SMS maupun BBM mereka, sebenarnya aku bukan mau menyembunyikan sesuatu dari kamu. Aku cuma menyesuaikan mata angin kesukaan mereka, Sinta".


Setiap tokoh dalam pewayangan selalu mempunyai arti perlambang dalam setiap kehidupan manusia, begitu juga dengan karakter yang ada dalam novel ini. Kisah Rahwana bisa jadi sekedar mitologi, tapi filosofinya selalu mengajarkan kita berbagai hikmah kehidupan.


"Yang menulis buku ini belum tentu saya, sebab Rahwana tak mati-mati. Gunung kembar Sodara-Sodari yang mengimpit Rahwana cuma mematikan tubuhnya semata. Jiwa Rahwana terus hidup. Hidup Hidup menjadi gelembung-gelembung alias jisim. Siapa pun bisa dihinggapi gelembung itu, tak terkecuali saya".

"Yang menulis di buku ini barangkali gelembung-gelembung itu, jisim Rahwana kepadaku. Yang menyampaikan buku ini kepadamu mungkin gelembung-gelembung Rahwana pada penerbit, percetakan, distributor, toko buku, dan lain-lain, tak terkecuali tukang ojek maupun sopir limousin yang mengantarmu ke toko buku maupun perpustakaan".

"Kau lantas memutar musiknya sebelum memasuki halaman-halaman bacaan, atau membacanya sembari mendengar musiknya. musik dan bacaan tak terpisahkan disini. Mereka ibarat pahit dan getirnya".


Kalau kita telaah lagi, Rahwana bisa jadi merupakan sifat buruk manusia yang cenderung tak pernah puas dengan tujuannya. Rasa cintanya kepada Dewi Widowati yang tak terbalas membuatnya terus berjuang hingga pada masa kehidupan Dewi Sinta. 


Tapi pada novel ini dituliskan sisi lain, kita bisa melihat kegigihan Rahwana dalam mencintai Sinta dengan tulus, begitu tulusnya hingga Rahwana tak mau menodai Sinta bahkan Rahwana tak pernah sekalipun meminta Sinta untuk membalas cintanya, Rahwana hanya menunngu dan terus menunggu. Sampai akhirnya Sinta membuka hati kepada sosok dasamuka itu, Sinta luluh pada ketulusan Rahwana.

"Aku ingin mencintaimu walau penuh cacat, Rahwana. Tak peduli cacat itu membawa keburukan atau malah menampilkan hal yang indah-indah....".


Terakhir, saya masih mencoba memahami satu kalimat dalam buku ini.

".... Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu. Itu ajakan kepada kita semua untuk memasuki kerongkongan ular piton, terowongan yang berujung kegelapan, kegelapan yang melindungi segala warna ...".

Begitulah, kita memang harus selalu belajar termasuk memahami satu kalimat penuh makna. 


Berikutnya saya juga ingin mulai mempelajari karya-karya penulis lainnya, seperti milik mbak Naqiyyah Syam blogger Lampung yang juga seorang penulis Lampung, beliau sering membagikan tips-tips menulis di blognya. Karena semakin banyak kita belajar, semakin banyak juga ilmu yang bisa kita dapatkan. 


Aku Lala Padamu



Judul buku: Rahvayana; Aku Lala Padamu

Penulis: Sujiwo Tejo

Genre: Fiksi

Tahun terbit: Mei 2014

Jumlah halaman: 209

Penerbit: Bentang Pustaka

Fionaz
Fionaz Hanya manusia biasa yang berusaha jadi bermanfaat untuk sesama. Seorang freelance writer dan blogger, untuk kerja sama bisa dihubungi melalui email: fionazisza03@gmail.com

Posting Komentar untuk "Resensi Buku Rahvayana; Aku Lala Padamu"