Jejak Cerita dan Harmoni di Balik Sejuknya Lereng Arjuno
Di balik udara sejuk Kota Batu yang akrab memeluk para tamunya, tersembunyi potongan-potongan kisah tentang budaya, kreativitas, dan kearifan lokal. Salah satu desa yang menyimpan harmoni kehidupan itu adalah Desa Bumiaji. Terletak di lereng Gunung Arjuno, desa ini bukan sekadar destinasi wisata alam, tetapi juga rumah bagi tradisi dan semangat gotong royong yang tetap lestari hingga kini.
Aku berkesempatan mengunjungi desa ini dalam rangkaian acara Workshop Fotografi dan Bincang Inspiratif by Astra, yang diselenggarakan pada Sabtu, 6 Juli 2025. Meski cuma sehari, rasanya seperti menyusuri babak-babak cerita yang penuh makna dan kehangatan. Yuk, ikuti jejak perjalananku!
Disambut oleh Alam dan Budaya
Pagi itu, kami tiba di Desa Bumiaji dan langsung disambut dengan senyum warga serta panorama hijau yang memanjakan mata. Kebun-kebun milik warga terbentang luas, udara segar menyelinap lewat sela-sela pepohonan, dan di kejauhan, Gunung Arjuno berdiri megah.
Namun bukan hanya alam yang menyambut kami, suara musik tradisional terdengar mengalun, mengiringi langkah kami menuju area pertunjukan Bantengan, salah satu kesenian khas dari Malang Raya. Di sepanjang jalan, aku melihat anak-anak dan remaja membawa topeng banteng besar di atas kepala mereka. Aku sempat bertanya kepada seorang guide local, dan ia menjawab, “Itu Bantengan. Sebentar lagi akan dimulai.”
Dan benar saja, beberapa menit kemudian kami duduk menyaksikan pertunjukan Bantengan yang begitu energik dan penuh semangat. Gerakan para pemain begitu ekspresif, seolah-olah kesurupan semangat leluhur yang menjadi ruh dalam tarian tersebut.
Menelusuri Jejak Batik Lereng Arjuno
Usai menyaksikan Bantengan, kami melangkah ke Anjani Batik Gallery—lokasi pertunjukan sekaligus rumah bagi karya-karya batik khas Bumiaji. Di sana, kami diajak melihat langsung proses pembuatannya. Di sinilah aku mulai memahami bahwa batik tak sekadar motif indah yang dipakai, melainkan simbol perjuangan dan cinta terhadap budaya.
Mbak Anjani, pemilik Anjani Batik Gallery, adalah perajin batik yang ramah dan inspiratif. Ia menyambut kami sambil menunjukkan karya-karya batiknya. Ia bercerita bahwa motif Bantengan menjadi pilihan utamanya karena ingin menghadirkan identitas yang kuat dan unik dari Bumiaji. Motif ini bukan hanya sekadar ornamen, tapi juga wujud cinta pada budaya lokal yang terus ia lestarikan lewat karya batik.
Seluruh proses membatik dilakukan di galerinya, dimulai dari menggambar pola, mencanting malam, mewarnai, hingga proses perebusan. Melihat rangkaian prosesnya membuat aku makin menghargai setiap helai batik yang lahir dari tangan-tangan sabar para perajin.
Workshop Fotografi dan Bincang Inspiratif
Kegiatan utama hari itu adalah workshop fotografi yang dipandu oleh fotografer profesional Mas Agung Yudha Wilis Baskoro, yang merupakan pemenang World Press Photo Award 2025. Kami diajari cara menangkap cerita lewat lensa, bagaimana sebuah gambar bisa bicara, bisa bercerita tentang emosi, budaya, dan kehidupan.
Salah satu sesi yang paling membekas adalah saat kami diajak memotret kegiatan warga. Kami diajak berkeliling dan mengunjungi beberapa tempat, destinasi yang kami kunjungi:
-
Permata Agro Mandiri – tempat pembuatan pie apel, nangka, dan durian.
-
Batu Orange Cake – pusat oleh-oleh khas Batu.
-
Wisata Agro Bumiaji – kebun buah jambu kristal, melon, dan proses pembuatan pupuk kompos.
-
Bagus Agiseta Mandiri – pengolahan apel jadi keripik, dodol, dan manisan apel.
-
Anjani Batik Galeri – melihat proses membatik tulis, penjahitan produk fashion, dan koleksi galeri.
-
Pertunjukan Bantengan Bocil – seni tradisional yang dilestarikan lewat paguyuban anak-anak.
Semua itu seperti potongan mozaik dari kehidupan yang nyata dan jujur.
Bincang inspiratif pun digelar di Museum Srimulat. Menghadirkkan mas Nurulloh yang merupakan Head Of Impact Kompasiana. Beliau berbagi tips menulis yang menyentuh hati dan bagaimana menjadikan AI sebagai partner ngonten yang efektif.
![]() |
pemain Bantengan Bocil |
Harmoni yang Terjaga Lewat Gotong Royong
Apa yang membuat Desa Bumiaji begitu berkesan bukan hanya keindahan alam atau pertunjukan budaya. Tapi juga semangat kolektif warganya dalam menjaga harmoni hidup. Mereka saling bahu membahu dalam kegiatan seni, ekonomi, dan sosial.
Anak-anak muda tak malu belajar membatik, para orang tua mendukung pelestarian Bantengan, dan semua bergerak dalam satu irama. Rasanya, seperti melihat miniatur Indonesia yang ideal, hidup rukun, saling mendukung, dan menjaga tradisi tanpa menolak modernitas.
Pulang Membawa Rasa Syukur
Sore hari kami kembali turun ke kota, tapi hati ini masih tertambat di Bumiaji. Di desa ini aku tak hanya belajar tentang budaya, tapi juga tentang hidup. Bahwa untuk merasa cukup, tak selalu butuh kemewahan. Kadang cukup dengan suasana desa, secangkir kopi panas yang disediakan warga, dan cerita-cerita yang menghangatkan hati. Aku pulang dengan hati yang lebih ringan, seolah diingatkan lagi bahwa keindahan hidup seringkali hadir dari hal-hal yang sederhana.
Perjalanan ke Desa Bumiaji adalah pengingat bahwa Indonesia kaya bukan hanya karena alamnya, tapi juga karena manusia-manusianya yang penuh semangat dan cinta. Semoga langkah kecil seperti ini bisa ikut menjaga agar warisan budaya dan semangat gotong royong tak pernah pudar, meski zaman terus berubah.
Kalau kamu butuh tempat healing yang bukan cuma menyegarkan mata tapi juga hati, mungkin Desa Bumiaji bisa jadi jawabannya.
Posting Komentar untuk "Jejak Cerita dan Harmoni di Balik Sejuknya Lereng Arjuno"
Posting Komentar